Dakwah memang tidak bisa menghindari politik. Namun ketika dakwah memasuki politik, apakah berkuasa merupakan tujuan utamanya?
Nabi Menolak Tawaran Kekuasaan
Martin Lings, mengutip Sirah Ibn Ishaq, menyebutkan kaum Quraisy melalui ‘Utbah ibn Rabi’ah pernah mengajukan tawaran kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar beliau mau berkompromi dalam berdakwah.
‘Utbah berkata kepada Nabi Muhammad,
“Jika engkau menginginkan kekayaan, kami bersedia mengumpulkan harta kami untukmu sehingga engkau menjadi orang terkaya di antara kami. Jika engkau mencari kemuliaan, kami akan mengangkatmu sebagai pemimpin kami; kami tidak akan memutuskan perkara apa pun tanpa persetujuanmu.”[1]
Namun Nabi menolak tawaran tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi tidak menjadikan kekuasaan sebagai tujuan utama dakwahnya.
Lalu apa tujuan utama dakwah politik?
Tujuan Utama Dakwah Politik
Tujuan utama dakwah politik dapat dilihat dari tujuan awal hijrahnya Nabi ke Yatsrib (Madinah), yaitu untuk menyebarkan dakwah sekaligus menyelamatkan kaum muslimin dari penindasan yang terjadi di Mekkah.
Mubarakfury dalam kitabnya, Sirah Nabawiyah, menyebutkan pada musim haji tahun kesebelas dari kenabian, Nabi mendatangi orang-orang Yatsrib di Aqabah.
Tujuan Nabi mendakwahi mereka bukanlah untuk menjadi penguasa Yatsrib, namun semata-mata untuk menyebarkan dakwah Islam.
Setelah menerima dakwah Islam, orang-orang Yatsrib tersebut pun mengatakan bahwa kota mereka sedang mengalami perpecahan (konflik antara Aus dengan Khazraj). Sehingga mereka berharap agar Nabi dapat menyatukan penduduk Yatsrib.[2]
Dari sinilah kemudian Nabi berhasil menjadi pemimpin Yatsrib (Madinah). Bermula dari semata-mata berdakwah untuk menyebarkan Islam, kemudian mencari tempat perlindungan bagi kaum muslimin yang ditindas di Mekkah, lalu memberikan solusi bagi permasalahan di Yatsrib.
Karena itulah, ketika dakwah memasuki politik maka tujuan utamanya adalah:
1.) Menyebarkan dakwah Islam yang murni, yang tidak berkompromi dan tercampuri oleh sinkretisme agama lain.
2.) Menjaga dan membela kepentingan dakwah serta umat Islam secara keseluruhan.
Lantas apa bahayanya jika berkuasa menjadi tujuan utama dakwah politik?
Risiko Ketika Kekuasaan Menjadi Tujuan Utama
Pertama, bermudah-mudah dalam kompromi.
وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ
“Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak, lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).”
(QS. Al Qalam: 9)
Orientasi pada kekuasaan akan membuat gerakan dakwah menjadi cair, mudah berkompromi supaya diterima khalayak luas.
Ada sebuah gerakan dakwah yang memasuki ranah politik. Setelah menjadi partai politik, gerakan dakwah ini mulai bermudah-mudah dalam kompromi, seperti misalnya melakukan amaliyah tradisional yang dahulu tidak mereka lakukan, bahkan membolehkan pula ucapan selamat natal.
Alasan kompromi mereka adalah agar partainya diterima masyarakat. Akibatnya, karakter mereka menjadi tak beda dengan partai Islam yang telah lama ada, yaitu menjadi jumud.
Kejumudan lahir dari lemahnya inovasi di ranah muamalah, sebagai konsekuensi dari maraknya bid’ah (inovasi di ranah ibadah).
Kedua, besarnya kebutuhan dana politik.
Orientasi pada kekuasaan akan membuat gerakan dakwah mengoptimalkan sumber dayanya untuk melakukan program politik serta mempekerjakan orang-orang yang fokus menangani politik.
Masalahnya, politik adalah pelayanan. Program pelayanan tersebut tidak dibayar dengan uang sebagaimana bisnis jasa pada umumnya. Bayaran program politik adalah simpati masyarakat yang ditunaikan dalam bentuk dukungan suara.
Akibatnya, partai harus mencari sumber pendanaan demi keberlangsungan program serta nafkah pengurus partai. Sumber pendanaan ini yang sering menjadi wilayah abu-abu dan akhirnya menjebak kader-kader partai politik Islam.
Ketiga, larut dalam konflik dan dinamika politik.
Orientasi pada kekuasaan akan membuat gerakan dakwah terdorong untuk terlibat dalam setiap dinamika politik yang terjadi. Padahal tidak semua konflik politik harus dimasuki. Gerakan dakwah tidak boleh terjebak dalam dikotomi pendukung — oposisi, lovers — haters.
Di sisi lain, sikap politik minded telah membuat kajian-kajian di internal gerakan dakwah menjadi selalu dan melulu membahas politik praktis. Akibatnya, tidak sedikit kader yang pindah ke gerakan dakwah lain yang lebih luas tema kajian keislamannya.
Dominasi kajian politik praktis juga membuat gerakan dakwah tertinggal dari pembahasan masalah lain, seperti ekonomi, keluarga, pendidikan, dan lainnya. Sehingga jarang terdengar gagasan dan solusi gerakan dakwah terhadap permasalahan bangsa di luar bidang politik.
Komitmen Pada Tujuan, Kekuasaan Akan Menyusul
Nabi telah mencontohkan, beliau tidak bermudah-mudah dalam kompromi, walaupun ditawari kekuasaan. Beliau tetap fokus menyebarkan dakwah Islam yang murni, serta berusaha menjaga umat agar terbebas dari penindasan.
Nabi juga tidak mengerahkan sumber daya dan dana politik untuk menjadi penguasa Mekkah. Nabi pun tidak mendominasi kajian-kajiannya dengan politik praktis.
Walhasil, umat Islam saat itu mampu menimba ilmu secara optimal melalui luasnya kajian keilmuan Islam. Sehingga mereka mampu memberi solusi bagi permasalahan Yatsrib, dan diminta menjadi pemimpin kota tersebut.
Lalu bagaimanakah dengan gerakan dakwah yang telah menjadi partai politik di Indonesia?
Apakah mereka akan tetap mudah berkompromi demi penerimaan masyarakat dan perolehan suara?
Wallahu A’lam
[1] Martin Lings, Muhammad (Jakarta: Serambi, 2003), hal. 101.
[2] Mubarakfury, Sirah Nabawiyah (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1997), hal. 189.
Komentar
Posting Komentar