Tidak sedikit
kita dapati penggunaan pelantang atau loudspeaker eksternal masjid secara
berlebihan. Misalnya 20 menit sebelum shalat subuh, pelantang eksternal masjid
sudah digunakan untuk tilawah Qur’an. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan
shalawat antara adzan dan iqamat.
Saat shalat
pun pelantang eksternal digunakan. Kemudian dilanjutkan zikir dan ceramah atau
pengajian ba’da shalat subuh. Total, sekira satu setengah jam pelantang
eksternal masjid digunakan dari sebelum hingga sesudah shalat subuh.
Hal ini
sejatinya termasuk hal yang berlebihan. Pelantang eksternal masjid seharusnya
digunakan hanya untuk adzan.
Seorang
tabi'in, Abdullah bin Syaqiq rahimahullah berkata,
مِنَ السُّنَّةِ الْأَذَانُ فِي الْمَنَارَةِ، وَالْإِقَامَةُ
فِي الْمَسْجِدِ
“Bagian dari sunnah, adzan dilakukan di
menara, dan iqamat di dalam masjid.”
(HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf
2331)[1]
Di masa lalu,
sebelum ada pelantang, adzan dilakukan di luar masjid. Saat itu adzan dilakukan
di atap rumah atau di menara agar suaranya dapat didengar masyarakat luas.
Sedangkan iqamat dilakukan hanya di dalam masjid.
Sehingga
ketika sudah menggunakan pelantang, iqamat pun seharusnya cukup menggunakan
pelantang internal masjid, bukan eksternal.
Lalu
bagaimana dengan tilawah Qur’an?
Syaikh Albany
pernah ditanya mengenai hukum diperdengarkannya kaset murattal (bacaan Al Qur’an)
dalam suatu majelis (perkumpulan) di mana orang-orang yang hadir dalam majelis
tersebut kebanyakan mengobrol dan tidak menyimak kaset tersebut.
Syaikh Albany
kemudian menjawab bahwa jika majelis tersebut memang majelis zikir dan ilmu
yang di dalamnya ada tilawah Qur’an, maka yang hadir dalam majelis tersebut harus
diam dan menyimak bacaan Qur’an tersebut.
وَإِذَا قُرِئَ
الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila
dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan
tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al A'raaf: 204)
Namun jika
majelis tersebut bukan majelis ilmu dan zikir, serta bukan majelis tilawah
Qur’an, akan tetapi hanya kumpul-kumpul biasa untuk mengobrol, diskusi,
bekerja, belajar ataupun pekerjaan lainnya, maka dalam hal ini tidak boleh kita
mengeraskan bacaan Qur’an baik secara langsung atau lewat pengeras suara
(kaset), sebab hal ini berarti memaksa orang lain untuk ikut mendengarkan
Qur’an, padahal mereka sedang mempunyai kesibukan lain dan tidak siap untuk
mendengarkan bacaan Al Qur’an.[2]
Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wasallam pun pernah menegur sahabat yang mengeraskan bacaan
Qur’an di dalam masjid.
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا
مَعْمَرٌ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
قَالَ
اعْتَكَفَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ
يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ
مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ
عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلَاةِ
Telah
menceritakan kepada kami Al Hasan bin Ali, telah menceritakan kepada kami
Abdurrazaq, telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Isma'il bin Umayyah dari
Abu Salamah dari Abu Sa'id dia berkata:
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam beri'tikaf di masjid, lalu beliau mendengar mereka
(para sahabat) mengeraskan bacaan (Al Qur'an) mereka. kemudian beliau membuka
tirai sambil bersabda:
"Ketahuilah,
sesungguhnya kalian tengah berdialog dengan Rabb, oleh karena itu janganlah
sebagian yang satu mengganggu sebagian yang lain, dan jangan pula sebagian yang
satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca (Al Qur'an) atau
dalam shalatnya." (HR. Abu Daud)[3]
Karena itulah
pelantang eksternal masjid seharusnya digunakan hanya untuk adzan serta hal
yang bersifat darurat, misalnya pengumuman bencana/musibah.
Sedangkan
untuk yang lainnya, seperti shalat, khutbah, dan iqamat, cukup gunakan
pelantang internal. Tidak jarang ada orang yang menunda ke masjid, walau sudah
adzan, karena menunggu dikumandangkannya iqamat melalui pelantang eksternal.
Ada pula
orang yang tidak datang ke masjid untuk mengikuti pengajian/ceramah karena
suara ceramah sudah terdengar dari rumahnya akibat diperdengarkan melalui
pelantang eksternal.
Lalu
bagaimana dengan alasan bahwa memperdengarkan shalawat menggunakan pelantang
eksternal masjid sebelum shalat subuh supaya orang-orang bisa terbangun dan
bersiap-siap ke masjid?
Jawabannya
adalah dengan kembali ke sunnah, yaitu adzan subuh dua kali.
حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ الْقَاسِمَ عَنْ
عَائِشَةَ
عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
قَالَتْ فَلَا
أَعْلَمُهُ إِلَّا كَانَ قَدْرَ مَا يَنْزِلُ هَذَا وَيَرْقَى هَذَا
Telah
menceritakan kepada kami Yahya dari Ubaidillah (yang) berkata,
Saya
mendengar Al-Qasim dari Aisyah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
bahwasanya Bilal mengumandangkan adzan di waktu malam, maka makan dan minumlah
hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.
Aisyah berkata,
"Saya tidak mengetahui jarak antara adzan Bilal dan Ummi maktum kecuali
turun-naiknya kedua orang itu." (Maksudnya adalah Bilal mengumandangkan
adzan sebelum muncul fajar kemudian ia menunggu dan mengawasi munculnya fajar
sambil membaca doa. Ketika telah muncul fajar dia turun dan memberitahu Ibnu
Ummi Maktum bahwa fajar telah muncul maka Abdullah bin Ummi Maktum naik dan
mengumandangkan adzan subuh -red) (HR. Ahmad)[4]
قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ أَوْ قَالَ حَتَّى تَسْمَعُوا أَذَانَ ابْنِ أُمِّ
مَكْتُومٍ وَكَانَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ رَجُلًا أَعْمَى لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى
يَقُولَ لَهُ النَّاسُ أَصْبَحْتَ
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Bilal
mengumandangkan adzan di waktu malam (sebelum fajar), maka silakan kalian makan
dan minum hingga adzan dikumandangkan," atau Beliau bersabda "Hingga
kalian dengar adzan Ibnu Ummi Maktum." Dan Ibnu Ummi Maktum adalah seorang
sahabat yang buta, yang dia tidak mengumandangkan adzan kecuali setelah
orang-orang berkata kepadanya 'Sekarang engkau telah berada di waktu pagi
(sekarang giliranmu)'." (HR. Bukhari)[5]
Di Masjidil Haram dan Masjid
Nabawi, jeda antara dua adzan ini adalah satu jam. Perbedaan dua adzan ini
terletak pada kalimat الصَّلاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ. Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin dan Lajnah Daimah (Komisi Fatwa Kerajaan
Arab Saudi) berpendapat bahwa الصَّلاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ dikumandangkan saat adzan
yang kedua.[6]
[1] “Dilarang Adzan di Dalam Masjid?”, https://konsultasisyariah.com/33374-dilarang-adzan-di-dalam-masjid.html (diakses
pada 18 Januari 2020, pukul 1.21).
[2] “Hukum memutar kaset bacaan Al-Qur`an tanpa disimak.”, https://salafy.or.id/blog/2003/12/07/hukum-memutar-kaset-bacaan-al-quran-tanpa-disimak/ (diakses
pada 18 Januari 2020, pukul 1.33).
[3] Aplikasi Lidwa, Ensiklopedi Hadits –
Kitab 9 Imam, Kitab Sunan Abu Daud no. 1135 (no. 1332 versi Baitul Afkar Ad
Dauliah).
[4] Aplikasi Lidwa, Ensiklopedi Hadits –
Kitab 9 Imam, Kitab Musnad Ahmad no. 23039.
[5] Aplikasi Lidwa, Ensiklopedi Hadits –
Kitab 9 Imam, Kitab Shahih Bukhari no. 2462 (no. 2656 versi Fathul Bari).
[6] “Adzân Shubuh.”, https://almanhaj.or.id/4435-adzn-shubuh.html (diakses
pada 18 Januari 2020, pukul 3.37).
Komentar
Posting Komentar